Dalam demokrasi terdapat teori Trias Politica yang dicetuskan John Locke dan Charles de Montesquieu (Barenboim, 2005:23). Dalam teori tersebut terdapat tiga elemen yang memegang kekuasaan, yaitu yakni legislatif yang membuat aturan, eksekutif yang melaksanakan aturan dan yudikatif sebagai pengawas dari aturan.
Hal ini berubah kala abad ke 18 saat Edmund Burke mencetus “the fourth estate” yang diisi oleh media massa sebegai pelengkap tiga elemen sebelumya. Media massa menjadi pengontrol produk demokrasi yang dihasilkan eksekutif, legislatif dan yudikatif, seperti kebijakan pemerintah hingga undangan-undang yang diberlakukan. Tak jarang kritis sering terlontar, wajar saja hal ini untuk menjaga produk demokrasi berjalan baik sesuai tujuan awal.
Jika keempat pilar tersebut berjalan secara baik, maka sistem demokrasi disuatu negara tersebut akan berjalan baik dan mudah menuju target yang ingin dicapai. Tak hanya itu, gejolak dalam negeri pun dapat ditekan yang akan memiliki efek domino lain le berbagai sektor.
Berkaca pada hal diatas, bisa saya katakan hal ini seperti dunia sepakbola Indonesia, memiliki 4 pilar yang masing-masing tugasnya hampir sama. Contohnya, Legislatif merupakan Klub-klub yang memiliki hak suara sebagai menyusun statuta PSSI, Eksekutif yang menjadi pelaksana aturan diisi oleh PT Liga Indonesia Baru selaku operator liga, Yudikatif diisi oleh PSSI melalui banyak komisinya yang mengawasi aturan dan penegakan aturan. Sementara elemen keempat yang biasanya diisi pers sebagai pihak independen penjaga civil society diisi oleh suporter yang menjaga marwah sepakbola atau klub agar tetap sesuai dengan kaidahnya.
Dari posisi tersebut, wajar jika suporter bak media masa, memberikan motivasi dan kritikan bagi 3 elemen atau pilar lainnya. Di suatu waktu suporter akan memuji layaknya pers memuji langkah positif atau kebijakan positif pemerintah, namun di waktu yang lain suporter juga layaknya pers, memberikan kritikan kepada klub, federasi dan operator liga saat ada sesuatu yang salah, persis seperti yang dilakukan pers saat kritik pemerintah.
Peran ini harus disadari oleh setiap elemen yang bekerja atau berada di lingkungan sepakbola, agar roda kompetisi bisa berjalan baik bahkan menghasilkan prestasi. Tapi lagi-lagi bak meniru sebuah negara, ada saja drama yang terjadi.
Ada saja gagal paham yang terjadi dan tak sadar dilakukan oleh orang yang berada di elemen-elemen tersebut, salah satu kasus yang sempat viral adalah ketika persipura mempolisikan pimpinan firm atau kelompok suporter garis kerasnya Blackpearl Curva Nord. Sang capo, Angky dipidanakan dengan tuduhan pencemaran nama baik karena kritikannya kepada Persipura yang memang tengah terpuruk di Liga 1 musim ini
Teranyar kasus yang menggelitik saya adalah unggahan instastory atau cerita instagram milik salah satu staf dari Persita Tangerang, sang staf mengunggah foto papan skor kemenangan Persita atas PSS dengan skor 1-0. Terdapat kalimat yang menyentil saya hingga membuat saya mengerutkan dahi, “Cuma mau bilang : Kalau gak mendukung saat kalah, gak usah repot-repot ikut merayakan dan ikut bersuka cita saat menang. Udah, itu aja” tulisnya di akun tersebut.
Mulanya saya hanya berfikir itu adalah unggahan biasa, namun setelah ditelaah dari beberapa komentar kritik, caci dan hujatan fans Persita saat timnya kalah di unggahan media sosial Persita, saya baru sadar mungkin ini adalah respon dari kritikan tersebut.
Mungkin ini tidak separah kasus Capo Angky yang sampai diperiksa kepolisian karena kritikannya kepada Persipura, tapi sikap ini menandakan ketidaktahuan sang staf terkait tugas dari suporter, terutama di Indonesia. Kalimat tersebut mengandung penolakan terhadap pihak yang mengkritik atau menghujat Persita saat mengalami kekalahan, padahal semua berhak mengkritik atau bahkan berhak merayakan kemenangan tim kesayangannya. Tidak ada aturan seseorang yang menghujat atau kritis tidak boleh merayakan kemenangan tim nya.
Mungkin saja hujatan itu justru menjadi pelecut bagi pemain, pelatih dan bagian tim lainnya untuk bekerja lebih baik, hal itu mungkin terjadi. Toh memang sudah menjadi tugas suporter untuk mengkritisi kekurangan tim, tugas dari tim adalah membenahi dari kesalahan, krtitik atau evaluasi yang diberikan.
Mungkin ada beberapa dari suporter yang biasa menggunakan kalimat yang keras dalam kritik, namun percayalah suporter tidal benci tim kesayangannya. Kritik itu merupakan tanda cinta suporter yang menginginkan kebaikan bagi tim nya, masalah bahasa mungkin bisa menjadi PR, bagaimana edukasi terkait tata bahasa. Tapi perlu diingat tak ada kehidupan yang tidak keras, untuk sukses saja kita perlu jatuh bangun beberapa kali dulu, menerima kritik, hinaan, cacian hingga terbentuk menjadi orang yang siap mental dan berhasil menjadi sukses.
Jika boleh mengutip sebuah kalimat Tan Malaka “terbentur, terbentur, terbentuk” harusnya itu yang bisa dijadikan motivasi, tak masalah harus jatuh bangun berkali-kali, namun harus belajar dari kesalahan untuk diperbaiki, bukan malah menjadi keledai yang jatuh berkali-kali di lubang yang sama. Jika ingin maju, janganlah tertutup. terbukalah untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak dan sisi untuk menjadi suatu hal yang baik ke depannya.
Pujian itu racun, dalam pujian terkadang terdapat pamrih dari pemberi pujian kepada yang dipuji.